PERKEMBANGAN SOSIAL
A.
PENGERTIAN
Menurut Plato, Manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial
(zoon politicon). Syamsudin mengungkapkan bahwa ”sosialisasi adalah
proses belajar untuk menjadi makhluk sosial”, sedangkan menurut Loree
”sosialisasi merupakan suatu proses dimana individu (terutama) anak melatih
kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan
dan tuntutan kehidupan (kelompoknya) serta belajar bergaul dengan bertingkah
laku, seperti orang lain di dalam lingkungan sosialnya”.
Muhibin mengatakan bahwa perkembangan sosial merupakan
proses pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi
dalam keluarga, budaya, bangsa, dan seterusnya. Adapun Hurlock mengutarakan
bahwa perkembangan sosial merupakan perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai
dengan tuntutan sosial. ”Sosialisasi adalah kemampuan bertingkah laku sesuai
dengan norma, nilai atau harapan sosial”.
B.
PROSES PERKEMBANGAN SOSIAL
Untuk menjadi individu yang mampu bermasyarakat
diperlukan tiga proses sosialisasi. Proses sosialisasi ini tampaknya terpisah,
tetapi sebenarnya saling berhubungan satu sama lainnya, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Hurlock yaitu sebagai berikut:
1.
Belajar untuk
bertingkah laku dengan cara yang dapat diterima masyarakat
2.
Belajar
memainkan peran sosial yang ada di masyarakat
3.
Mengembangkan
sikap/tingkah laku sosial terhadap individu lain dan aktivitas sosial yang ada
di masyarakat.
Pada perkembangannya, berdasarkan ketiga tahap proses
sosial ini, individu akan terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu individu sosial
dan individu nonsosial. Kelompok individu sosial adalah mereka yang
tingkah lakunya mencerminkan ketiga proses sosialisasi. Mereka mampu untuk
mengikuti kelompok yang diinginkan dan diterima sebagai anggota kelompok.
Adakalanya mereka selalu menginginkan adanya orang lain dan merasa kesepian
bila berada seorang diri. Selain itu mereka juga merasa puas dan bahagia jika
selalu berada dengan orang lain. Adapun kelompok individu nonsosial, mereka
adalah orang-orang yang tidak berhasil mencerminkan ketiga proses sosialisasi.
Mereka adalah individu yang tidak tahu apa yang diharapkan kelompok sosial
sehingga tingkah laku mereka tidak sesuai dengan harapan sosial. Kadang-kadang
mereka tumbuh menjadi individu antisosial, yaitu individu yang mengetahui
harapan kelompok sosial, tetapi dengan sengaja melawan hal tersebut. Akibatnya
individu antisosial ini ditolak atau dikucilkan oleh kelompok sosial.
Selain kedua kelompok tadi, dalam perkembangan sosial ini
adapula istilah individu yang introvert dan extrovert. Introvert adalah
kekcenderungan seseorang untuk menarik diri dari lingkungan sosialnya. Minat,
sikap ataupun keputusan-keputusan yang diambil selalu didasarkan pada perasaan,
pemikiran, dan pengalamannya sendiri. Tipe orang introvert biasanya
pendiam dan tidak membutuhkan orang lain karena merasa segala kebutuhannya bisa
dipenuhi sendiri. Sedangkan extrovert adalah kecenderungan seseorang
untuk mengarahkan perhatian ke luar dirinya sehingga segala minat, sikap, dan
keputusan-keputusan yang diambilnya lebih ditentukan oleh peristiwa-peristiwa
yang terjadi di luar dirinya. Orang-orang extrovert biasanya cenderung
aktif, suka berteman, dan ramah tamah.
Karakteristik yang menggambarkan individu dengan
penyesuaian diri baik, yaitu sebagai berikut:
1.
Dapat menerima
tanggung jawab sesuai dengan usianya.
2.
Menikmati
pengalamannya.
3.
Mampu
memecahkan masalah dengan segera.
4.
Dapat melawan
dan mengatasi hambatan untuk merasa bahagia.
5.
Mampu membuat
keputusan dengan kekhawatiran dan konflik yang minimum.
6.
Tetap pada
pilihannya sehingga ia menemukan bahwa pilihannya itu salah.
7.
Merasa puas
dengan kenyataan
8.
Dapat
menggunakan pikiran sebagai dasar untuk bertindak, tidak untuk melarikan diri.
9.
Belajar dari
kegagalan tidak mencari alasan untuk kegagalannya.
10.
Tahu bagaimana
harus bekerja pada saat kerja dan bermain pada saat main.
11.
Dapat berkata
tidak pada situasi yang mengganggunya.
12.
Dapat berkata
ya pada situasi yang membantunya.
13.
Dapat
menunjukkan kasih sayang.
14.
Dapat menahan
sakit dan frustasi bila diperlukan.
15.
Dapat
berkomproni ketika mengalami kesulitan
16.
Dapat
mengkonsentrasikan energynya pada tujuan.
17.
Menerima
kenyataan bahwa hidup adalah perjuangan yang tak ada habisnya.
C.
PENGEMBANGAN SOSIAL MELALUI TAHAPAN BERMAIN SOSIAL
Aktivitas bermain bagi seorang anak memiliki peranan yang
cukup besar dalam mengembangkan kecakapan sosialnya sebelum anak mulai
berteman. Aktivitas bermain menyiapkan anak dalam menghadapi pengalaman
sosialnya. Sikap yang dapat dikembangkan melalui kegiatan bermain, antara lain:
1.
Sikap Sosial
Bermain mendorong anak untuk meninggalkan pola berpikir
egosentrisnya. Dalam situasi bermain anak ”dipaksa” untuk mempertimbangkan
sudut pandang teman bermainnya sehingga ia menjadi kurang egosentris. Dalam
permainan, anak belajar bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Mereka
mempunyai kesempatan untuk belajar menunda kepuasan sendiri selama beberapa
menit. Misalnya saat menunggu giliran bermain, ia peduli terhadap hak-hak orang
lain. Lebih lanjut ia pun akan belajar makna kerja tim dan semangat tim.
2.
Belajar Berkomunikasi
Untuk dapat bermain dengan baik bersama orang lain, anak
harus bisa mengerti dan dimengerti oleh teman-temannya. Hal ini mendorong anak
untuk belajar bagaimana berkomunikasi dengan baik, bagaimana membentuk hubungan
sosial, bagaimana menghadapi dan memecahkan masalah-masalah yang timbul dalam
hubungan tersebut.
3.
Belajar Mengorganisasi
Saat bermain bersama orang lain, anak juga berkesempatan
belajar ”berorganisasi”, Bagaimana ia harus melakukan pembagian ”peran” di
antara mereka yang turut serta dalam permainan tersebut, misalnya siapa yang
menjadi guru dan siapa yang menjadi muridnya.
4.
Lebih menghargai orang lain dan perbedaan-perbedaan
Bermain memungkinkan anak mengembangkan kemampuan
empatinya, Saat bermain dalam sebuah peran, misalnya anak tidak hanya
memerankan identitas si tokoh, tetapi juga pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan
tokoh tersebut. Bermain peran membantu anak membangun pemahaman yang lebih baik
atas orang lain, lebih toleran, serta mampu berlapang dada terhadap
perbedaan-perbedaan yang dijumpai.
5.
Menghargai Harmoni dan Kompromi
Saat dunianya semakin luas dan kesempatan berinteraksi
semakin sering dan bervariasi maka akan tumbuh kesadarannya akan makna peran
sosial, persahabatan, perlunya menjalin hubungan serta perlunya strategi dan
diplomasi dalam berhubungan dengan orang lain. Anak tidak akan begitu saja
merebut mainan teman, misalnya karena ia tahu akan konsekuensi ditinggalkan
atau dimusuhi.
Setelah kita memahami peranan bermain dalam mengembangkan
keterampilan sosial anak, selanjutnya kita akan membahas tentang tingkatan
bermain sosial berdasarkan usia dan perkembangan sosial anak. Perkembangan
tingkatan bermain ini akan terus berkembang sesuai dengan berkembangnya
keterampilan sosial yang dimiliki anak.
Padmonodewo menjelaskan lima tingkatan dalam bermain
sosial, yaitu:
1.
Bermain Soliter
Anak-anak bermain dalam satu ruangan, mereka tidak saling
mengganggu dan tidak saling memperhatikan. Sangat mungkin dalam satu ruangan
ada anak yang sedang asyik bermain boneka, sementara ada anak lain yang sama
asyiknya sedang bermain balok dan mobil-mobilan.
2.
Bermain sebagai Penonton/Pengamat
Pada tahap ini anak-anak mulai peduli terhadap
teman-temannya yang bermain di satu ruangan, sekalipun ia masih bermain
sendirian. Selama anak bermain sebagai penonton ia terlihat
pasif. Padahal, ia sangat memperhatikan dan mengamati teman-temannya, apa yang
sedang dimainkan dan bagaimana hasilnya. Si anak mungkin sedang berbicara
dengan ibunya atau sedang bermain balok. Namun, pada tahapan ini ia sering kali
menoleh dan memperhatikan temannya yang sedang asyik melakukan permainan lain.
3.
Bermain Paralel
Beberapa anak bermain bersama dengan mainan yang sama
dalam satu ruangan. Namun, apa yang dilakukan masing-masing anak tidak saling
tergantung dan berhubungan. Jika ada seorang anak yang meninggalkan arena,
permainan anak-anak lain masih tetap dapt berjalan. Di Taman Kanak-kanak kita
sering melihat anak-anak bergerombol di area pasir. Masing-masing anak sibuk
sendiri dengan pikiran dan imajinasinhya sendiri. Ada anak yang membuat kue,
ada yang membuat menara pasir, adapula anak yang asyik membuat bentuk-bentuk
yang dicetak. Masing-masing asyik bermain tidak saling tergantung dalam
melakukan aktivitas tersebut sehingga ketika ada satu anak yang telah
menyelesaikan mainannya dan pindah ke area yang lain, anak-anak yang lain
tidak terpengaruh dan tetap dapat melanjutkan permainannya.
4.
Bermain Asosiatif
Adalah permainan yang melibatkan beberapa orang anak,
namun belum terorganisasi. Masing-masing anak tidak mendapatkan peran yang
spesifik sehingga jika ada anak yang tidak mengikuti aturan, permainan tetap
dapat berlangsung.
5.
Bermain kooperatif
Bermain kooperatif dilakukan secara berkelompok,
masing-masing anak memiliki peran untuk mencapai tujuan permainan. Misalnya
menirukan kegiatan di pasar, dimana ada anak yang berperan sebagai penjual dan
pembeli. Jika ada satu anak yang berhenti dari permainan maka permain permainan
tidak dapat dilanjutkan. Contoh lain bermain kooperatif adalah pada permainan
”Benteng-bentengan” yang melibatkan dua kelompok yang beranggota sama. Jika ada
satu anak yang berhenti maka permainan tidak dapat dilanjutkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar