BAB I
PENDAHULUAN
Usia anak-anak dan remaja adalah masa dimana segala
sesuatu dengan mudah dibentuk dan akan sangat menentukan bagaimana selanjutnya
dimasa yang akan datang. Hal itulah yang mendasari betapa pentingnya penelaahan
dan penelitian dilakukan sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan
fatal dalam membentuk karakter anak yang tentunya akan menjadi penerus kita
menjadi khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi khalifah atau pemimpin itu
adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabanya
kelak, sehingga kita perlu membekali dengan segala persiapan sedini mungkin
terhadap anak yang notabenenya akan menjadi penerus kita kelak.
Dapat dikatakan bahwa sikap atau kepribadian seseorang
ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilalui pada
masa kanak-kanak. Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan pendidikan,
pengalaman dan latihan-latihan terhadap hal-hal yang religius, santun dan
ringan tangan (suka membantu) terhadap sesama, empatik terhadap kesusahan dan
segala masalah persoalan sosial di lingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa
nanti akan merasakan pentingnya nilai-nilai agama didalam hidupnya (religius)
dan kepribadian (private).
Pendidikan agama haruslah ditanam sejak dini. Karena
pendidikan agama sangat penting untuk tumbuh kembang jiwa anak maupun remaja.
Dengan agama yang berlandaskan akidah dan akhlaq dapat mengarahkan perilaku
anak maupun remaja ke perilaku yang baik. Dengan pendidikan agama tentunya
diharapkan adanya implikasi dari rasa agama anak dan remaja yang baik juga.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Jiwa Beragama
Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap
perkembangan. Menurut Kohnstamm, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi
menjadi lima periode, yaitu:
- Umur 0 – 3 tahun, periode vital atau menyusuli.
- Umur 3 – 6 tahun, periode estetis atau masa mencoba dan masa bermain.
- Umur 6 – 12 tahun, periode intelektual (masa sekolah)
- Umur 12 – 21 tahun, periode social atau masa pemuda.
- Umur 21 tahun keatas, periode dewasa atau masa kematangan fisik dan psikis seseorang.
Elizabeth B. Hurlock merumuskan tahap perkembangan
manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:
- Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
- Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
- Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
- Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 - 6 tahun.
- Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 - 10 atau 11 tahun.
- Masa Pubertas (pra adolesence), umur 11 - 13 tahun
- Masa Remaja Awal, umur 13 - 17 tahun. Masa remaja akhir 17 - 21 tahun.
- Masa Dewasa Awal, umur 21 - 40 tahun.
- Masa Setengah Baya, umur 40 – 60 tahun.
- Masa Tua, umur 60 tahun keatas.
B. Perkembangan Jiwa Beragama Pada Masa
Anak-anak
1. Agama Pada Masa Anak- Anak
Sebagaimana dijelaskan diatas, yang dimaksud dengan masa
anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang
dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:
1. 0 – 2 tahun (masa vital)
2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari
kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima
secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing
dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian
terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman
yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang
menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya
yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka
mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh.
Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat
kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang
saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan
ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi
meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan
butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga,
butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan
anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran
tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan
sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat
dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan
takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya
mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun
keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan
hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.
2. Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama
pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. The Fairly Tale Stage (Tingkat
Dongeng)
Pada
tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak
dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih
menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang
,masuk akal. Cerita akan
Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para
pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika
berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak-
kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya,
pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional
dan spontan tapi penuh arti teologis.
2. The Realistic Stage
(Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai
bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada
awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran
atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris
bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan
logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan
shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
3. The Individual Stage
(Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang
tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang
diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
- Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
- Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
- Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Berkaitan dengan masalah ini, imam bawani membagi
fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
a. Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi
yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa
perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika
terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,
b. Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada
seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam
hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
c. Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai
keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal
yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya.
Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang
disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya
pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam
melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam
memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama
sekalipun sifatnya hanya meniru.
d. Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama
juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan
perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
3. Sifat agama pada anak
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi 6 (enam)
bagian:
a. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja.
Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal.
Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun,
sejalan dengan perkembangan moral.
b. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa
pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak
mempunyai arti seperti orang dewasa.Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus
dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan
pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak
dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan
egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
c. Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya.
Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana)
dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan
religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif
dan konkret.
d. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal).
Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan
amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan
yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang
mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
e. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan
meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting.
Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran,
akan tetapi berupa teladan
f. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda
dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan
kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu
diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan
pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang
sangat penting
C. Perkembangan Jiwa Beragama Pada Remaja
1. Perkembangan Jiwa Beragama Pada
Remaja
Dalam peta psikologi remaja terdapat tiga bagian:
a. Fase Pueral; Pada masa ini remaja tidak
mau dikatakan anak- anak, tetapi juga tidak bersedia dikatakan dewasa. Pada
fase pertama ini merasa tidak tenang.
b. Fase Negative; Fase kedua ini hanya
berlangsung beberapa bulan saja, yang ditandai oleh sikap ragu- ragu, murung,
suka melamun dan sebagainya.
c. Fase Pubertas; Masa ini yang dinamakan
dengan Masa Adolesen
Dalam pembahasan ini , Luella Cole sebagaimana disitir
kembali oleh Hanna Jumhanna Bastaman, membagi peta remaja menjadi empat bagian:
- Preadolescence : 11-13 tahun (perempuan) dan 13-15 tahun (laki- laki)
- Early Adolescence : 13-15 tahun (perempuan) dan 15-17 tahun (laki- laki)
- Middle Adolescence : 15-18 tahun (perempuan) dan 17-19 tahun (laki- laki)
- Late Adolescence : 18-21 tahun (perempuan) dan 19-21 tahun (laki- laki).
2. Perasaan Beragama Pada Remaja
Gambaran remaja tentang Tuhan dengan sifat- sifatnya
merupakan bagian dari gambarannya terhadap alam dan lingkungannya serta
dipengaruhi oleh perasaan dan sifat dari remaja itu sendiri. Keyakinan agama
pada remaja merupakan interaksi antara dia dengan lingkungannya. Misalnya,
kepercayaan remaja akan kekuasaan tuhan menyebabkannya pelimpahan tanggung
jawab atas segala persoalan kepada tuhan, termasuk persoalan masyarakat yang tidak
menyenangkan, seperti kekacauan, ketidak adilan, penderitaan, kezaliman,
persengkataan, penyelewengan dan sebagainya yang terdapat dalam masyarakat akan
menyebabkan mereka kecewa pada tuhan, bahkan kekecewaan tersebut dapat
menyebabkan memungkiri kekuasaan tuhan sama sekali.
Perasaan remaja kepada Tuhan bukanlah tetap dan stabil,
akan tetapi adalah perasaan yang yang tergantung pada perubahan- perubahan
emosi yang sangat cepat, terutama pada masa remaja pertama. Kebutuhan akan
allah misalnya, kadang- kadang tidak terasa jika jiwa mereka dalam keadaan
aman, tentram dan tenang. Sebaliknya, Allah sangat dibutuhkan apabila mereka
dalam keadaan gelisah, karena menghadapi musibah atau bahaya yang mengancam
ketika ia takut gagal atau merasa berdosa.
3. Motivasi Beragama Pada Remaja
Menurut Nico Syukur Dister Ofm, motifasi beragama dibagi
menjadi empat motivasi, yaitu:
- Motivasi yang didorong oleh rasa keinginan untuk mengatasi frustasi yang ada dalam kehidupan, baik frustasi karena kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan alam, frustasi social, frustasi moral maupun frustasi karena kematian.
- Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat.
- Motivasi beragama karena didorong oleh keinginan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia atau intelek ingin tahu manusia.
- Motivasi beragama karena ingin menjadikan agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan.
4. Sikap Remaja Dalam Beragama
Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu:
1. Percaya ikut- kutan
Percaya ikut- ikutan ini biasanya dihasilkan oleh didikan
agama secara sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun
demikian ini biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun).
Setelah itu biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai
dengan perkembangan psikisnya.
2. Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang
masalah- masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin
menjalankan agama sebagaio suatu lapangan yang baru untuk membuktikan
pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut- ikutan saja.
Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun.
Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
a. Dalam bentuk positif; Semangat agama yang positif, yaitu
berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi menerima hal-
hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan membebaskan agama dari
bid’ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
b. Dalam bentuk negatif; Semangat keagamaan dalam bentuk
kedua ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk khurafi, yaitu
kecenderungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar kedalam masalah-
masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan- kepercayaan lainnya.
3. Percaya, tetapi agak ragu- ragu
Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
a. Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya
proses perubahan dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
b. Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan
yang dilihatnya dengan apa yang diyakininya, atau dengan pengetahuan yang
dimiliki.
4. Tidak percaya atau cenderung ateis
Perkembangan kearah tidak percaya pada tuhan sebenarnya
mempunyai akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa
tertekan oleh kekuasaan atau kezaliman orang tua, maka ia telah memendam
sesuatu tantangan terhadap kekuasaan orang tua, selanjutnya terhadap kekuasaan
apa pun, termasuk kekuasaan Tuhan.
5. Faktor- Faktor Keberagamaan
Robert H. Thouless mengemukakan empat faktor keberagamaan
yang dimasukkan dalam kelompok utama, yaitu:
· Pengaruh- pengaruh sosial
· Berbagai pengalaman
· Kebutuhan
· Proses pemikiran
Faktor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan
sikap keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua, tradisi- tradisi sosial dan
tekanan- tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai
pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan.
Faktor lain yang dianggap sebagai sumber keyakinan agama
adalah kebutuhan- kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi secara sempurna, sehingga
mengakibatkan terasa adanya kebutuhan akan kepuasan agama. Kebutuhan- kebutuhan
tersebut dapat dikelompokkan dalam empat bagian, antara lain kebutuhan akan keselamatan,
kebutuhan akan cinta, kebutuhan untuk memperoleh harga diri dan kebutuhan yang
timbul karena adanya kematian.
Faktor terakhir adalah pemikiran yang agaknya relevan
untuk masa remaja, karena disadari bahwa masa remaja mulai kritis dalam
menyikapi soal- soal keagamaan, terutama bagi mereka yang mempunyai keyakinan
secara sadar dan bersikap terbuka. Mereka akan mengkritik guru agama mereka
yang tidak rasional dalam menjelaskan ajaran- ajaran agama islam, khususnya
bagi remaja yang selalu ingin tahu dengan pertanyaan- pertanyaan kritisnya.
Meski demikian, sikap kritis remaja juga tidak menafikkan faktor- faktor
lainnya, seperti faktor berbagai pengalaman.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Aziz Ahyadi , Psikologi Agama, Mertiana Bandung
Jalaluddin Rakhmat , Psikologi Agama sebuah pengatar, Mizan 2004
Drs. Psy H.A. Aziz Ahyadi , Psikologi Agama, pnerbit Martiana Bandung,
Dr. Nico Syukur
Dister, Psikologi Agama, penerbit Kanisius, hal 9
Prof Dr. H.
Ramayulis, Psikologi Agama , Kalam Mulia 2004
Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar